Arsip untuk Juni, 2009

SosialBangsa yang makmur sejahtera dan penuh dengan kedamaian menjadi dambaan seluruh masyarakat Indonesia. Namun tidak dapat dipungkiri, semua itu tidak akan dapat terwujud dengan mudah. Terciptanya perdamaian dan kemakmuran bangsa tidak bisa dilepaskan dari masyarakat yang berbudaya dan bermoralitas, dan bersifat transformatif. Budaya dan moral, kedua itu sangat penting untuk menopang tegaknya bangsa dan negara. Suatu negara tidak hanya memerlukan pemerintahan yang baik, tetapi juga masyarakat yang berbudaya dan bermoral

Saat ini Indonesia sedang menghadapi persoalan yang amat rumit. Berupa adanya gejala semakin merosotnya praktik nilai-nilai moralitas dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perubahan itu menyangkut seluruh segi kehidupan masyarakat. Di antaranya bidang sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan, yang menyangkut perubahan strukturil dan perubahan pada sikap serta tingkah laku dalam hubungan antar manusia. Kehancuran moralitas kita banyak dipengaruhi oleh moralitas bangsa luar yang tidak sesuai dengan moralitas yang kita miliki. Salah satunya, kapitalisme. Semuanya berorientasi pada kepentingan individu. Sadar atau tidak, sekarang kita terjajah lagi, meskipun tidak tampak secara langsung. Penjajahan ini berupa penjahaan ideologi dan ekonomi. Penjajahan ideologi berdampak pada cara pandang kita. Sementara penjajahan ekonomi berdampak pada finansial.

Bangsa kita terjebak oleh arus kapitalis. Masyarakat kita kembali diingatkan pada torehan pena pujangga Ronggowarsito, “Yen ora melu edan, ora keduman (jika tak ikut gila, tak kebagian).” Serakah, itulah gambaran bangsa kita sebenarnya. Jatuhnya moralitas bangsa ini memang tak seheboh terpuruknya pasar finansial global. Namun, perlahan tapi pasti, bangsa ini akan terbawa gaya gravitasi alias menukik. Kita dengan mudah terlalap iklan. Gaya hidup konsumerisme dan hedonisme nyaris tak terlepaskan dari masyarakat kita. Kita terkungkung pada kemasan, tanpa mengindahkan substansi isi. Beli karena keinginan, bukan kebutuhan, itulah bangsa ini.

Orang kita mengaku pintar, tapi mudah diperalat orang asing. Bangsa ini mengaku kaya, tapi kekayaan melimpah itu tidak dinikmati oleh warganya.  Kekayaan alam Indonsesia sangat potensial untuk dikelola dan dimanfaatkan agar tak ada lagi rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kebodohan diperangi dengan program pendidikan bagi semua kalangan baik secara formal maupun informal. Kebobrokan moral harus diberantas agar individu-individu terhindar dari perilaku yang merugikan diri, orang lain, dan masyarakat.

(lebih…)

The Jakarta Info.

Posted: Juni 20, 2009 in Artikel, Kliping, Renungan Bantal
Tag:

asdfKemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Para ahli mendefinisikan kemiskinan sebagai ketiadaan akses pada hal-hal yang vital dalam hidup. Kemiskinan absolut berarti tak punya akses kepada sumber daya dasar yang menopang kehidupan, seperti air bersih, tanah, rumah yang layak, benih (bagi petani), makanan bergizi, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan lingkungan yang sehat.

Sebagai kota besar, dengan kualitas lingkungan hidup yang semakin buruk, Jakarta membutuhkan berbagai upaya untuk memulihkan kondisi lingkungan hidup. Salah satunya adalah dengan mengalokasikan daerah ruang terbuka hijau (RTH). Yang menjadi persoalan berikutnya adalah pemerintah mengimplementasikan kebijakan pembangunan RTH tersebut, dengan cara membuat kebijakan yang menyingkirkan rakyat miskin kota dari ruang hidupnya. Jumlah orang miskin di Jakarta meningkat. Tahun ini, sebanyak 640 ribu jiwa atau 70 ribu Kepala Keluarga tergolong masyarakat miskin. ”Jumlah itu lebih besar dibandingkan tahun lalu, 560 ribu jiwa, tidak ada data yang akurat tentang besaran pendapatan warga Jakarta. Paul McCarthy dari Bank Dunia dalam Global Report (2003), mengutip sebuah lembaga survei di enam kota besar di Indonesia, menulis, 22 persen penduduk kota hidup dengan biaya kurang dari Rp 350.000 per bulan pada tahun 2001. Sekitar 20 persennya hidup dengan sekitar Rp 350.000 sampai Rp 500.000. Akan tetapi, mengatakan mereka yang hidup dengan pendapatan di bawah Rp 500.000 per bulan sebagai “miskin” juga terlalu menyederhanakan persoalan karena tidak menghitung biaya perumahan dan jumlah keluarga.

Mereka yang tergolong kaya bisa membayar makanan sepiring seharga ratusan ribu rupiah, sementara ribuan orang lainnya memeras keringat untuk Rp 10.000 sehari. Yang satu menguruskan badan dengan biaya jutaan rupiah, sementara ribuan anak tak bisa makan tiga kali sehari. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi terkaya di Indonesia dan berada di peringkat tertinggi Indeks Pembangunan Manusia dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2004. Meski UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sudah diterapkan, berbagai data memperlihatkan masih 65 persen peredaran uang di Indonesia menumpuk di Jakarta.

(lebih…)